Hukum Makanan dari Perayaan Bid’ah
Terdapat sejumlah pertanyaan seputar makanan-makanan yang berasal
dari acara-acara bid’ah atau yang tidak disyari’atkan. Berikut beberapa
fatwa ulama tentang hal tersebut.
Guru kami, Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbâd Al-Badr, pernah ditanya,
“Apakah boleh memakan makanan ahlul bid’ah? Perlu diketahui bahwa mereka
membuat makanan ini untuk bid’ah tersebut, seperti makanan untuk maulid
Nabi.
Beliau menjawab, “Yang wajib adalah mengingatkan mereka untuk
menjauhi bid’ah-bid’ah dan meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan.
Terhadap seorang manusia, (kita mengingatkan) agar tidak memakan
makanan yang dibuat untuk perkara-perkara bid’ah dan perkara-perkara
yang diharamkan.” [Pelajaran Sunan Abu Dawud, kaset no. 137]
Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Dâ`imah 22/270-271 yang ditandatangani oleh
Syaikh Abdul ‘Aziz Âlu Asy-Syaikh, Syaikh Shalih Al-Fauzân, dan Syaikh
Bakr Abu Zaid, disebutkan tanya-jawab sebagai berikut.
“Apa hukum memakan makanan yang dipersiapkan untuk acara-acara
tertentu atau suatu kebiasaan, seperti memakan makanan musim semi yang
siapkan dengan tepung putih dan tanaman ketika musim semi telah tiba?”
Jawaban
Apabila makanan-makanan ini tidak berhubungan dengan hari-hari raya
dan acara-acara bid’ah, serta tidak ada penyerupaan terhadap orang-orang
kafir, tetapi hanya kebiasaan-kebiasaan untuk menganekaragamkan makanan
seiring pergantian musim, tidak masalah dalam memakannya karena asal
dalam kebiasaan adalah pembolehan.”
Dari jawaban di atas, tampak bahwa pensyaratan pembolehan adalah bila
tidak berhubungan dengan hari-hari raya dan acara-acara bid’ah, serta
tidak ada penyerupaan terhadap orang-orang kafir.
Risalah Ilmiyah An-Nashihah, vol. 09 Th. 1/1426 H/2005 M, hal. 2-3,
memuat tanya-jawab berikut.
Pertanyaan
Di negeri kami, sebagian orang mengadakan perayaan maulid dan
perayaan-perayaan bid’ah lainnya. Kemudian mereka mengirim sebagian
makanan dari perayaan-perayaan tersebut ke rumah kami. Apakah kami boleh
memakannya?
Jawaban
Mufti Umum Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Âlu
Asy-Syaikh, pada malam Jum’at, 8 Sya’ban 1425 H, bertepatan dengan 29
September 2004, menjawab sebagai berikut.
“Wallahu a’lam, tentang acara-acara yang diselenggarakan untuk
perkara-perkara bid’ah, tidaklah boleh memakan (makanan) pada (acara)
tersebut karena makanan tersebut diletakkan di atas hal yang tidak
disyariatkan.”
Syaikh Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhâry, pada sore 5 Syawal 1425 H,
bertepatan dengan 17 November 2004, menjawab sebagai berikut.
“Makanan perayaan-perayaan maulid adalah bid’ah dalam agama -menurut
(pendapat) yang benar- dan menyelisihi petunjuk Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallamdan para shahabat beliau. Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam kitab Ash-Shahîhain (Shahîh
Al-Bukhâry dan Shahih Muslim),
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru, dalam agama kami,
yang tidak termasuk dari (agama) tersebut, (perkara) itu tertolak.”
Tentunya, manusia tidak hanya terbatas dengan mengadakan
maulid-maulid, bid’ah-bid’ah seperti perayaan maulid ini,
perayaan-perayaan lain yang berkaitan dengan hal seperti ini, bahkan
mereka juga menambahnya dengan sembelihan-sembelihan dan berbagai jenis
makanan. Oleh karena itu, kiriman makanan tersebut kepada manusia,
menurutku, tidaklah pantas untuk diambil dan dimakan karena ada bentuk
menolong ahlil bid’ah ‘pelaku bid’ah’. Jika seseorang melihat
seorang Sunni (pengikut sunnah), atau selainnya, mengambil atau
memakan makanan seperti itu dan membolehkan hal seperti ini untuk
dirinya, manusia akan menjadi bingung sehingga mereka tidak mengetahui
yang haq dari yang batil. Maka, manusia seharusnya diberitahu bahwa hal
seperti ini tidaklah boleh dan makanan-makanan seperti itu tidaklah
boleh, juga bahwa tidaklah pantas menghidupkan bentuk (perayaan) seperti
ini. Jelaskanlah kepada mereka, ingatkanlah mereka, dan buatlah mereka
takut terhadap Allah Jalla wa ‘Azza.
Sesungguhnya, makanan seperti ini seharusnya ditinggalkan
berdasarkan atsarAbu Bakr radhiyallâhu ‘anhu bahwa
seorang maulanya (budaknya) menghadiahkan makanan kepadanya kemudian
berkata, ‘Makanan ini berasal dari perdukunan yang saya lakukan pada
masa jahiliyah.’ Maka, Abu Bakr memasukkan tangannya lalu mengeluarkan
makanan tersebut dari perutnya, seraya berkata, ‘Demi Allah, andaikata
Saya tahu bahwa ruhku akan keluar bersama makanan tersebut, niscaya saya
akan mengeluarkan (ruhku).’[1] Hal
ini menunjukkan kesempurnaan wara’beliau radhiyallâhu
‘anhu. Maka, dibangun di atas dasar nash ini dan selainnya,
seseorang tidaklah pantas membantu orang-orang tersebut serta tidak
boleh memakan makanannya, tetapi meninggalkan (makanan) itu. Itulah yang
terbaik.”
Demikian fatwa-fatwa ulama kita yang tidak memperbolehkan.
Dalam catatan kaki Hâsyiyah Fathul Majîd, Syaikh Abdul Aziz
Ibnu Baz meluruskan pendapat Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqiy. Di antara
penjelasan beliau adalah, “… akan tetapi, bila makanan tersebut berasal
dari daging sembelihan kaum musyrikin, lemak, atau kuah (daging) itu,
hal tersebut adalah haram karena sembelihan (kaum musyrikin) berada pada
hukum bangkai sehingga menjadi haram dan menajisi makanan yang
bercampur dengannya. Berbeda dengan roti dan yang semisalnya berupa
hal-hal yang tidak bercampur dengan suatu sembelihan kaum musyrikin
apapun, hal tersebut adalah halal bagi siapa saja yang mengambilnya ….”
Sumber : dzulqarnain.net